MASALAH KETIGA BELAS:Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui TiapPartikularia Yang Dapat Dibagi SesuaiDengan Pembagian Waktu ‘Telah’,’Sedang’, Dan ‘Akan’

PARA ilsuf sepakat mengenai pendapat ini (bahwa Tuhan
tidak mengetahui partikularia-partikularia yang dibagi-
bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam kategori
‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’). Yang percaya bahwa Tuhan tidak
mengetahui apa pun kecuali diriNya termasuk ke dalam jajaran
para ilsuf. Tetapi orang yang berpendapat bahwa Dia mengetahui
Yang Lain-yang diterima oleh Ibn Sina-menyatakan bahwa Dia
mengetahui segala sesuatu dengan suatu pengetahuan universal
yang tidak termasuk ke dalam pembagian waktu dan tidak
berubah-ubah sejak masa lampau, kini, hingga masa mendatang.
Selain itu, dinyatakan-oleh Ibn Sina yang mewakili pendapat
terakhir-bahwa “tak ada sesuatu pun-bahkan satu partikel atom
di langit atau di bumi-yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.
Hanya saja, Tuhan mengetahui tiap partikularia secara universal.”
Pertama kali kita harus memahami pendapat mereka, lalu
memberikan sanggahan dan kritik tajam.
Kami akan mengulas pendapat ini dengan sebuah ilustrasi.
Ketika matahari gerhana, setelah sebelumnya tidak terjadi gerhana,

dan ketika kemudian terang kembali, matahari telah melalui tiga
keadaan: (a) keadaan pertama, ketika gerhana belum terjadi, tetapi
eksistensinya dalam proses penantian, yang tergambar dalam
ungkapan: ‘gerhana akan terjadi’; (b) keadaan kedua, gerhana
benar-benar terjadi, yang tergambar dalam ungkapan: ‘gerhana
sedang terjadi’; (c) keadaan ketiga, gerhana sudah tidak terjadi
lagi, tetapi beberapa saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambar
dalam ungkapan: ‘gerhana telah terjadi’. Mengenai ketiga hal ini,
kita mempunyai tiga pengertian yang berbeda. Karena pertama,
kita mengetahui bahwa gerhana tidak ada atau tidak terjadi, tetapi
akan terjadi. Lalu, kedua, kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi.
Dan, akhirnya ketiga, kita tahu bahwa gerhana telah pernah ada,
meskipun kini sudah berlalu dan tiada. Pergantian beruntun-
di tempat yang sama-dari ketiga pengertian yang berbeda itu
menuntut suatu perubahan pada zat yang mengetahuinya. Karena
setelah timbulnya kembali matahari, seseorang lalu mengatakan
bahwa gerhana sedang terjadi sekarang, sebagaimana gerhana telah
terjadi sebelumnya, tentu bukan merupakan pernyataan orang yang
tahu, tetapi merupakan suatu bentuk ketidaktahuan. Demikian
pula pada saat gerhana terjadi, lalu seseorang mengatakan bahwa
gerhana tidak terjadi, tentu pernyataan itu adalah suatu kebodohan.
Ini menunjukkan bahwa tak satu pun dari pengertian pengertian
ini dapat digunakan secara bergantian, yang satu dengan yang
lainnya.

Mereka beranggapan Tuhan tidak mempunyai keadaan-
keadaan yang berbeda-beda sehubungan dengan ketiga keadaan
di atas. Sebab hal itu akan menyebabkan terjadinya perubahan.
Sesuatu yang keadaannya tidak berbeda-beda tak dapat tidak
bisa dibayangkan untuk bisa mengetahui ketiga kategori di atas.
Pengetahuan (‘ilm) mengikuti objek pengetahuan (ma’lum). Jika objek pengetahuan berubah, pengetahuan pun berubah. Dan jika
pengetahuan berubah, maka mau tidak mau “yang mengetahui”
(‘alim) juga berubah. Tetapi perubahan pada diri Tuhan adalah
sesuatu yang mustahil.

Walaupun demikian, mereka menganggap bahwa Tuhan
mengetahui gerhana dan semua sifat-sifat-Nya sejak dari awal
tanpa batas (azali) sampai ke akhir tanpa ujung (abadi), tanpa
ada perbedaan. Misalnya, (1) Dia tahu bahwa matahari dan
bulan ada. Keduanya ada karena beremanasi dari-Nya melalui
intermediasi malaikat-malaikat yang diistilahkan para ilsuf
dengan “akal-akal murni” (‘aql mujarrad bentuk pluralnya:
‘uqul mujarradah). (2) Dia tahu bahwa matahari dan bulan
melakukan revolusi-revolusi atau gerak memutar. (3) Dia tahu
bahwa falak matahari dan bulan saling memotong pada dua titik,
yaitu titik kepala dan titik ekor. (4) Dia tahu bahwa kadang-
kadang keduanya secara simultan berkumpul pada titik garis
yang sama sehingga melahirkan gerhana. Artinya, bulan berada
di antara matahari dan pengamat sehingga menghalangi matahari
dari mata pengamat. Jika matahari telah melewati titik tersebut
dalam rentang waktu tertentu, setahun misalnya, matahari
akan gerhana lagi. Gerhana dapat menutupi keseluruhan tubuh
matahari separuh, atau sepertiganya. Durasi waktu gerhana akan
berakhir satu atau dua jam dan seterusnya. Demikian seterusnya
sampai ke seluruh kondisi dan aksiden (al-a’rad) suatu gerhana.
Tidak ada satu hal pun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.
Tetapi pengetahuan-Nya tentang hal-hal tersebut tetap sama, baik
sebelum terjadinya gerhana, ketika sedang terjadi, atau setelah
terjadinya. Dan karena ia tidak berbeda, ia tidak menuntut
perubahan pada esensi-Nya.

Demikian pula halnya pengetahuan Tuhan tentang semua
hal yang bersifat temporal (hawadis). Dia mengetahui bahwa
hawadis merupakan akibat-akibat dari sebab-sebab tertentu, dan
bahwa sebab-sebab mempunyai beberapa sebab-sebab yang lain,
dan begitu seterusnya, sehingga rangkaian-rangkaian itu berhenti
pada gerak putar selestial. Dia mengetahui bahwa sebab-sebab
gerakan-putar selestial (al-harakah ad-dawriyah as-samawiyyah)
adalah jiwa langit (nafs as-sama’), dan sebab dari gerakan jiwa
adalah kerinduan pada perjumpaan harmonis dengan Tuhan dan
dengan malaikat-malaikat yang dekat kepada Allah (al-mala’ikah
al-muqarrabun). Semua dapat diketahui oleh Tuhan. Artinya,
tersingkap bagi-Nya dengan penyingkapan tunggal dan homogen
(inkisyaf wahid mutanasib) serta tidak dipengaruhi oleh waktu.
Tapi, pada waktu terjadi gerhana, tidak bisa dikatakan, “Dia
mengetahui bahwa gerhana terjadi sekarang”. Setelah gerhana
pun tidak dapat dikatakan, “Dia mengetahui bahwa sekarang
gerhana telah berakhir”. Segala hal yang harus diketahui manusia
jika diletakkan dalam konteks waktu tidak bisa dibayangkan
bahwa Allah juga mengetahuinya. Sebab pengetahuan tersebut
menuntut perubahan pada yang mengetahui.

Semuanya ini menyangkut sesuatu yang dapat dibagi-bagi
ke dalam periode-periode waktu. Demikian pula pendapat (para
ilsuf ) mengenai sesuatu yang dapat dibagi-bagi ke dalam materi
dan ruang, seperti pribadi manusia atau binatang-binatang.
Para ilsuf mengatakan bahwa Dia tidak mengetahui aksiden-
aksiden (a’rad). Zayd, ‘Amr atau Khalid secara personal. Tetapi
Dia mengetahui manusia secara umum, aksiden-aksiden, serta
sifat-sifatnya, dengan suatu pengetahuan universal (‘ilm al-kulli).
Maka Dia juga tahu bahwa manusia memiliki suatu tubuh yang
terdiri dari berbagai organ yang dipergunakan untuk menangkap,berjalan-jalan, memahami, dan lain sebagainya. Di antaranya
ada yang tunggal sedangkan lainnya berpasangan. Dia juga tahu
bahwa kekuatan-kekuatannya harus didistribusikan ke seluruh
bagian-bagian isiknya, dan seterusnya hingga seluruh sifat luar
dan dalam manusia, setiap hal yang termasuk perlengkapan-
perlengkapannya, sifat-sifatnya, dan keniscayaan-keniscayaannya,
sehingga tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan-
Nya dan Dia mengetahui setiap sesuatu secara universal.


Sedang diri pribadi Zayd secara personal, ia hanya dapat
dibedakan dari diri ‘Amr karena indra saja, bukan karena akal.
Sebab dasar pembedaan atas pribadi secara personal adalah
penunjukan terhadap dimensi tertentu, sementara akal hanya
memahami dimensi absolut universal atau ruang universal.
Adapun kata-kata kita: “ini” dan “ini” (dengan menunjuk pada
benda tertentu), itu menunjukkan suatu hubungan yang dimiliki
oleh objek indra vis-a-vis orang yang menggunakan indra, karena
berada dekat padanya atau jauh darinya, atau berada pada suatu
arah tertentu. Ini mustahil bagi Tuhan.

Inilah prinsip dasar yang dipegang teguh oleh para ilsuf
dan digunakan untuk merancang kehancuran total syariat-syariat
agama. Itu memberikan implikasi pada keyakinan bahwa misalnya,
apakah Zayd menaati Tuhan atau mendurhakai-Nya, Tuhan tidak
mengetahui keadaan-keadaannya yang temporal, karena Dia tidak
mengetahui Zayd sebagai pribadi secara personal, artinya bahwa
dia sebagai pribadi dan tindakan-tindakannya terjadi setelah
sebelumnya tidak ada. Maka apabila Dia tidak mengetahui diri
seseorang secara personal, Dia tidak bisa mengetahui keadaan-
keadaan dan perbuatan-perbuatannya. Dia pun tidak mengetahui
kekufuran atau keislaman Zayd, karena Dia hanya mengetahui kekufuran atau keislaman manusia secara umum, mutlak dan
universal, tidak terspesiikasi pada pribadi-pribadi secara personal.

Dengan pendapat itu, mereka tidak bisa mengelak untuk
mengatakan bahwa Muhammad Saw. memproklamasikan
kenabiannya, sedangkan Tuhan tidak tahu bahwa dia melakukan
hal itu. Demikian pula setiap nabi yang lain. Sebab Tuhan hanya
mengetahui bahwa di antara manusia terdapat beberapa orang
yang memproklamasikan kenabian, dan bahwa yang demikian dan
demikian adalah sifat-sifat mereka. Tetapi Dia tidak mengetahui
seorang nabi tertentu sebagai seorang individu. Karena hal itu
diketahui oleh indra semata. Dia pun tidak mengetahui keadaan-
keadaan yang timbul dari suatu yang bersifat partikular individual.
Sebab keadaan-keadaan tersebut terbagi-bagi di dalam waktu
dan pada diri tertentu. Pengetahuan terhadap keadaan-keadaan
tersebut pada semua perbedaannya mengharuskan perubahan
wujud yang mengetahuinya.


Maka inilah yang hendak kami sebutkan, pertama,
mengenai doktrin mereka, kedua, memahaminya, ketiga,
menjelaskan konsekuensi-konsekuensi negatifnya. Kami akan
mengemukakan kekeliruan kekeliruan yang dikandungnya dan
menunjukkan bagaimana mereka dapat disanggah.

Kekeliruan mereka terletak pada pernyataan bahwa:
“Ketiga keadaan ini berbeda-beda. Apabila sesuatu yang
berbeda-beda muncul berurutan pada sesuatu yang sama, maka
perubahan pada sesuatu tersebut merupakan konsekuensi yang
niscaya (lazim). Apabila pada waktu terjadinya gerhana dikatakan
bahwa gerhana ‘akan terjadi’-sebagaimana biasa dikatakan
sebelum gerhana, maka orang yang mengatakannya mesti seorang yang bodoh (jahil), bukan seorang yang tahu (‘alim). Tetapi
apabila dia mengetahui bahwa gerhana ‘terjadi ‘, sedangkan
sebelumnya dia tahu bahwa gerhana ‘tidak terjadi’ tetapi ‘akan
terjadi ‘, maka pengetahuan dan keadaan orang itu tentu berbeda,
dan perubahan menjadi niscaya. Karena perubahan tak berarti
lain kecuali perbedaan pada orang yang mengetahui. Orang yang
tidak mengetahui sesuatu, lalu mengetahuinya, maka dia telah
berubah. Orang yang tidak mengetahui bahwa gerhana ‘terjadi
‘, lalu-pada waktu gerhana-mengetahuinya, maka ia juga telah
berubah.”

Mereka menegaskan kembali tesis mereka dengan
mengatakan bahwa:
“Keadaan-keadaan (ahwal bentuk plural dari hal) ada tiga
macam: Pertama, suatu keadaan yang merupakan relasi murni
(idafah mahdah), sebagaimana keberadaan Anda di sebelah kanan
atau sebelah kiri. Dan ini-keadaan yang murni merupakan relasi
murni-tidak dapat dikembalikan pada suatu sifat esensial. Apabila
sebuah benda yang berada di sebelah kanan Anda dipindahkan
ke sebelah kiri, hanya relasi Anda yang berubah karenanya,
bukan esensi Anda. Perpindahan suatu seperti di atas hanyalah
penggantian relasi atas zat, bukan penggantian esensi.

Kedua, keadaan yang pertama dapat diperbandingkan
dengan keadaan yang kedua. Apabila Anda mampu untuk
memindahkan benda isikal tertentu yang berada di tangan, maka
ketiadaan semua atau sebagian dari benda-benda itu tidak akan
mengubah kekuatan vital Anda dan kemampuan Anda. Karena
kemampuan primer Anda adalah kemampuan untuk memindah
benda secara umum, dan kemampuan sekundernya adalah untuk
memindahkan suatu benda tertentu, selama itu merupakan benda. Maka relasi kemampuan pada suatu benda atau tubuh
(jisim) tertentu bukanlah suatu sifat esensial (wasf zati), tetapi
suatu relasi murni (idafah mahdah). Karenanya, perubahan
tubuh pasti menyebabkan hilangnya relasi, bukan menyebabkan
perubahan pada keadaan yang memiliki kemampuan (qadir).

Ketiga, keadaan di mana esensi mengalami perubahan.
Hal ini terjadi, misalnya, ketika seseorang yang (mulanya) tidak
mengetahui berubah menjadi orang yang mengetahui, atau orang
yang tidak berkemampuan menjadi orang yang berkemampuan.
Inilah yang disebut perubahan.

Perubahan pada objek pengetahuan menuntut adanya
perubahan pada pengetahuan itu sendiri. Karena hakikat esensi
pengetahuan terdapat di dalam relasinya dengan suatu objek
tertentu dari pengetahuan sebagaimana adanya. Hubungan dengan
objek yang melalui cara lain, pasti melahirkan pengetahuan yang
lain sehingga jelas akan terjadi perubahan. Perubahan itulah
yang melahirkan perbedaan pada kondisi yang mengetahui.


Tidak mungkin untuk mengatakan bahwa esensi
mempunyai pengetahuan tunggal, yang kemudian menjadi
pengetahuan tentang sesuatu yang ‘sedang terjadi’ setelah
mengetahui bahwa ia ‘akan terjadi ‘, dan akan menjadi
pengetahuan tentang hal yang ‘telah terjadi’ setelah menjadi
pengetahuan tentang hal yang ‘sedang terjadi’. Pengetahuan
adalah tunggal dan semua keadaannya sama. Apabila relasi-
relasinya berganti, maka-karena dalam hal pengetahuan, relasi-
relasi membentuk hakikat esensinya-penggantian relasi-relasi
menuntut penggantian pada esensi pengetahuan itu, dan dengan
demikian perubahan merupakan keniscayaan. Hal ini mustahil
bagi Allah.

Sanggahan dari dua sudut:
Pertama, bagaimana Anda menyanggah pendapat orang
yang mengatakan:
“Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang
gerhana pada suatu waktu tertentu. Sebelum gerhana,
pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang ‘akan terjadi’. Pada
waktu gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang
‘sedang terjadi’. Dan setelah terang, pengetahuan ini merupakan
pengetahuan tentang berakhirnya gerhana. Semua perbedaan
ini dapat dianggap sebagai relasi-relasi yang tidak menggantikan
esensi pengetahuan. Ia tidak menuntut suatu perubahan pada
entitas yang mengetahuinya. Karena perbedaan-perbedaan
tersebut harus diposisikan sebagai relasi-relasi murni. Apabila
seseorang yang berada di sebelah kanan Anda datang ke depan
Anda, lalu ke sebelah kiri, maka akan terjadi relasi-relasi yang
berurutan dengan diri Anda. Orang yang berpindah tempat
itulah yang berubah, bukan Anda. Mestinya demikian kita
memahami perihal pengetahuan Tuhan.”

Kami menerima pendapat bahwa Dia mengetahui segala
sesuatu dengan pengetahuan tunggal (ilm wahid) dari zaman tak
berawal sampai (azali) zaman tak berakhir (abadi). Kami juga
setuju dengan pendapat bahwa keadaan-Nya tidak berubah.

Sebenarnya tujuan para ilsuf hanya menegasikan
perubahan. Dan itu dapat diterima oleh semua orang. Tetapi
pernyataan mereka bahwa perubahan harus disimpulkan dari
airmasi pengetahuan tentang ‘sedang terjadi ‘saat ini, dan
tentang berakhirnya (gerhana), (maka pernyataan itu) tidak dapat
diterima. Dari manakah mereka mengetahui ide ini? Andaikan
Allah menciptakan pengetahuan untuk kita tentang kedatangan Zayd di sini besok ketika matahari terbit, lalu pengetahuan ini
didiamkan (sehingga Dia tidak menciptakan pengetahuan yang
lain bagi kita dan kita pun tidak lupa terhadap pengetahuan
ini), pasti kita, ketika matahari terbit, mengetahui dengan
pengetahuan yang lalu-tentang kedatangan Zayd ‘saat ini ‘, dan
setelah itu mengetahui tentang (fakta bahwa) dia telah datang
baru saja. Pengetahuan-yang satu dan yang terus ada ini-akan
cukup untuk menguasai ‘ketiga keadaan’ itu.

Maka yang tersisa dari perkataan mereka adalah bahwa:
“Relasi dengan suatu objek pengetahuan tertentu masuk
ke dalam hakikat pengetahuan. Dengan perbedaan-perbedaan
relasi, hal-hal yang kepadanya suatu relasi bersifat esensial,
juga menjadi berbeda. Setiap terjadi perbedaan dan pergantian
kejadian, maka perubahan pun terjadi.”

Maka kami akan mengatakan: apabila ini benar, Anda
harus mengikuti langkah-langkah rekan-rekan Anda (para ilsuf )
yang mengatakan bahwa:

“Tuhan tidak mengetahui sesuatu pun selain diri-Nya.
Pengetahuan diri-Nya identik dengan esensi-Nya. Sebab apabila
dia mengetahui manusia secara umum, binatang secara umum,
atau materi absolut (tak berorgan/jamad mutlaq) secara umum-
yang jelas merupakan hal-hal yang berbeda-maka hubungan
dengan hal-hal ini akan merupakan relasi-relasi yang berbeda.
Karenanya, satu pengetahuan tidak bisa menjadi pengetahuan
tentang hal-hal yang berbeda. Karena yang dihubungkan
berbeda, maka relasi itu harus juga berbeda. Relasi dengan
objek pengetahuan menjadi esensial bagi pengetahuan, maka itu

mengharuskan multiplisitas (ta’addud) dan diferensi (ikhtilaf ),
tidak hanya multiplisitas dengan kesamaan Kualitatif (tamassul).
Karena hal hal yang secara kualitatif sama adalah sesuatu yang
dapat saling dipertukarkan. Tetapi pengetahuan tentang binatang
tidak dapat diganti dengan pengetahuan tentang materi (yang
inorganik/jamad). Demikian pula pengetahuan tentang putih
tak dapat digantikan dengan pengetahuan tentang hitam. Karena
kedua pengertian itu berbeda.

Kemudian, spesies, genus, dan aksiden-aksiden universal
(‘awarid kulliyyah) ini jumlahnya tak terhingga. Tapi semuanya
merupakan hal yang berbeda. Bagaimanakah pengertian-
pengertian yang berbeda mengenai hal-hal yang berbeda dapat
berada di bawah naungan satu pengetahuan? Dan bagaimanakah
satu pengetahuan itu identik dengan esensi orang yang
mengetahui, tanpa ada sesuatu yang ditambahkan padanya?


Saya berharap bisa memahami bagaimana orang berakal
dapat membolehkan dirinya untuk tidak memercayai kesatuan
pengetahuan tentang suatu hal yang keadaan-keadaannya dapat
dibagi-bagi ke dalam waktu lampau, mendatang, dan kini, sedang
dia tidak memercayai kesatuan pengetahuan yang berhubungan
dengan semua spesies dan genus yang berbeda. Sering kali
perbedaan dan disparitas di antara genus dan spesies yang
bermacam-macam lebih penting daripada perbedaan yang benar-
benar ada pada kondisi sesuatu yang dapat berbeda-beda sesuai
dengan pembagian waktu. Apabila perbedaan itu tidak menuntut
multiplisitas dan perbedaan, bagaimana ini dapat menuntut
multiplisitas dan perbedaan?

Selama bisa dibuktikan secara rasional bahwa perbedaan
waktu tidak sama dengan perbedaan genus dan spesies, dan bahwa ia tidak akan mengantar pada multiplisitas dan diferensi,
maka ia juga tidak mengharuskan perbedaan. Jika demikian,
maka keseluruhannya bisa dicakup dengan pengetahuan tunggal,
yang kekal dan abadi serta tidak mengharuskan adanya perubahan
yang mengetahui.

Sanggahan kedua dapat dikemukakan sebagai berikut:
Berdasar prinsip Anda, apa yang mencegah Anda untuk
memercayai bahwa Tuhan mengetahui partikularia-partikularia,
meski pun itu berubah-ubah? Adalah Anda tidak memercayai
bahwa bentuk perubahan semacam ini tidak mustahil bagi
Tuhan? Jahm Ibn Safwan dari kelompok Muktazilah percaya
bahwa pengetahuan Nya tentang hal yang temporal berada
di dalam lingkaran waktu dan termasuk yang temporal juga.

Demikian juga beberapa tokoh dari kalangan Karramiyyah
akhir memercayai bahwa Dia adalah subjek bagi peristiwa-
peristiwa temporal (hawadis). Maka, alasan satu satunya mengapa
kebanyakan ahli kebenaran (ahl al-haqq) menolak pandangan
ini ialah bahwa, begitu perubahan terjadi, subjek itu tak pernah
bebas dari perubahan-perubahan. Dan sesuatu yang tidak pernah
bebas dari perubahan-perubahan tidaklah kekal (qadim).

Tetapi Anda percaya bahwa alam itu kekal, dan bahwa
pada saat yang sama, alam tidak pernah steril dari perubahan.
Jika Anda dapat memercayai perubahan sesuatu yang kekal,
maka tak alasan yang dapat mencegah Anda untuk memercayai
bahwa pengetahuan Tuhan (yang tidak steril dari perubahan)
menimbulkan perubahan pada Tuhan.


Apabila dikatakan:
Kami menganggap hal itu mustahil. Sebab pengetahuan
yang temporal dalam esensinya, tidak bisa lepas dari apakah ia
temporal dan lahir dari dirinya sendiri atau dari yang lain.

Adalah salah untuk mengatakan bahwa ia dapat berasal
dari Nya. Karena kami telah menunjukkan bahwa dari Yang Kekal
(al Qadim) tak bisa timbul sesuatu yang temporal, dan bahwa Dia
tidak merupakan seorang pelaku (fa’il) setelah tidak menjadi
pelaku sebelumnya (karena hal itu menuntut perubahan). Hal
telah kami kemukakan di dalam masalah penciptaan alam.

Jika pengetahuan yang ada dalam esensi diri-Nya berasal
dari yang lain, lalu bagaimana “entitas yang lain” itu bisa
memengaruhi dan mengubah-Nya-sehingga keadaannya menjadi
berubah secara terpaksa dan tunduk-dan proses itu datang dari
entitas lain?

Kami akan menjawab:
Tak satu pun dari kedua pendapat ini yang mustahil,
menurut prinsip-prinsip Anda.
Mengenai pendapat bahwa sesuatu yang berpermulaan
(hadis) mustahil berasal dari yang kekal, telah kami sanggah dalam
masalah penciptaan alam. Mengapa Anda mengatakan demikian?
Padahal menurut pendapat Anda, sesuatu yang temporal (hadis)
mustahil beremanasi dari yang kekal (qadim). Sementara ia
adalah hal-hal temporal yang pertama. Dasar kemustahilan
itu adalah adanya yang hadis sebagai yang pertama. Jika tidak,
peristiwa-peristiwa temporal tidak mempunyai sebab-sebab temporal pada suatu rangkaian tanpa akhir. Tetapi rangkaian
itu berakhir-melalui perantaraan gerak putar-pada sesuatu yang
kekal, yaitu jiwa falak dan kehidupannya. Maka jiwa falak (an-
nafs al-falakiyyah) adalah kekal, dan gerak putar berasal darinya.
Masing-masing dari bagian gerakan itu berpermulaan dan lenyap,
dan karenanya jelas membaru setelah itu. Demikian menurut
pandangan Anda, peristiwa-peristiwa temporal berasal dari yang
kekal. Tetapi, jika keadaan-keadaan yang kekal menjadi sama,
emanasi hal-hal yang temporal darinya menjadi sama pula.
Demikian juga keadaan-keadaan gerak akan menjadi serupa
karena lahir dari yang kekal yang memiliki keadaan-keadaan yang
sama.

Hal ini menunjukkan bahwa apabila prosesi itu dianggap
homogen (tanasub) dan kekal, maka setiap orang dari kalangan
ilsuf dapat menerima kemungkinan prosesi hal-hal yang
temporal dari Yang Kekal. Dari sinilah pengetahuan temporal
Tuhan dapat dipahami.

Yang kedua, mengenai prosesi pengetahuan Tuhan dari
yang lain, kami katakan, “Mengapa Anda menganggapnya
mustahil?” Dalam hal ini hanya ada tiga hal yang penting dilihat:

Pertama, perubahan. Kami telah menunjukkan (dalam
sanggahan kedua sebelum ini) itu berasal dari prinsip-prinsip
Anda.

Kedua, adanya yang lain sebagai sebab bagi perubahan
pada yang lain. Hal ini, juga, tidak mustahil, menurut pendapat
Anda. Maka kebiruan (hudus) sesuatu benda dapat merupakan
sebab bagi kebaruan pengetahuan Tuhan tentang sesuatu itu.
Sebagaimana Anda menyatakan bahwa penampakan bentuk
suatu objek berwarna dalam pandangan merupakan sebab,lahirnya kesan bentuk tersebut dalam bola mata melalui udara
yang memberi jarak antara yang melihat dan sesuatu yang dilihat.

Apabila materi yang tak berorgan mungkin untuk menjadi
sebab bagi munculnya kesan bentuk-bentuk pada mata-inilah
yang dimaksud melihat-mengapa mustahil.bagi munculnya
fenomena temporal untuk menjadi sebab pengetahuan Tuhan
tentangnya? Demikian, sesungguhnya daya melihat dipersiapkan
untuk melihat dan munculnya suatu objek berwarna serta
terbukanya kelopak mata adalah sebab bagi persepsi aktual.
Juga bisa dikatakan bahwa prinsip pertama dipersiapkan untuk
menerima pengetahuan, dan ada perpindahan dari potensialitas
ke dalam aktualitas ketika objek temporal pengetahuan terwujud.
Apabila ini menimbulkan suatu perubahan yang kekal, maka
entitas kekal yang berubah itu bagi Anda tidak mustahil. Jika
Anda menganggap hal itu mustahil pada wajib al-wujud, maka
Anda tidak akan mempunyai argumen untuk membuktikan
wajib al-wujud tersebut. Sebagaimana telah kami kemukakan
(dalam masalah keempat) yang dapat Anda buktikan hanyalah
bahwa rangkaian-rangkaian sebab dan akibat harus berujung, di
mana pun. Rangkaian tersebut dapat berujung pada suatu entitas
kekal yang berubah-ubah.

Ketiga, implikasi-dari pengetahuan zat Allah yang baru
dan berasal dari yang lain-itu ialah bahwa perubahan Yang
Kekal dipengaruhi oleh Yang Lain, dan itu menyerupai paksaan
dan penguasaan dari yang lain terhadap-Nya. Sekali lagi kami
pertanyakan, mengapa Anda memustahilkannya? Anda boleh
percaya bahwa Tuhan, melalui perantara-perantara, adalah sebab
bagi munculnya peristiwa-peristiwa temporal, bahwa munculnya
peristiwa-peristiwa temporal adalah sebab bagi pengetahuan-Nya tentang peristiwaperistiwa tersebut-atau, singkatnya, bahwa Dia
adalah sebab bagi pencarian pengetahuan bagi diri-Nya, tetapi
melalui perantara perantara.

Apabila Anda menganggap bahwa ini menyerupai
penundukan (taskhir) atau pengaruh eksternal, maka biarlah
begitu. Karena itu pantas menurut kerangka teori Anda. Sebab
Anda telah mengatakan bahwa apa pun yang timbul dari Tuhan
hanyalah timbul melalui keniscayaan dan berdasar karakter
dasarnya, dan bahwa Dia tidak kuasa untuk tidak melakukannya.
Hal ini juga menyerupai penundukan atau pengaruh eksternal,
dan menunjuk pada kesimpulan bahwa mengenai apa yang
timbul dari-Nya, Dia seperti orang yang dipaksa.

Apabila dikatakan:
Ini bukan paksaan. Karena kesempurnaan terdapat pada
kapasitas-Nya sebagai sumber prosesi atau munculnya segala
sesuatu.

Kami akan menjawab:
Kalau demikian, di sini tidak ada paksaan. Karena
kesempurnaan-Nya terdapat pada (fakta) bahwa dia mengetahui
segala sesuatu. Seandainya kita mempunyai sesuatu pengetahuan
tentang segala fenomena temporal, tentu pengetahuan itu akan
merupakan suatu tanda kesempurnaan, bukan kekurangan atau
penundukan, bagi kita. Demikian pula halnya dengan Tuhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *